Minggu, Januari 01, 2012

Tajuk Rencana

Editorial atau tajuk rencana adalah tulisan dalam surat kabar atau majalah yang berisi permasalahan aktual. Tulisan tersebut ditulis berdasarkan sudut pandang redaksi surat kabar atau majalah tersebut.

Di dalam tajuk rencana terdapat fakta dan opini. Fakta dalam tajuk rencana adalah hal-hal faktual yang diambil dari peristiwa atau gejala tertentu di masyarakat. Adapun opini adalah argumen atau tanggapan redaksi terhadap peristiwa atau gejala yang dijadikan pokok pembicaraan dalam tajuk rencana.


Contoh tajuk rencana
Berharap ''Efek Nurwahid'' Terus Bergulir
Kalau kita memandangnya sebagai sebuah harapan, maka momentum puasa Ramadan 1425 Hijriah, keterpilihan Hidayat Nurwahid sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan pengambilan sumpah/ janji presiden-wakil presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-M Jusuf Kalla, seperti terangkai dalam satu kesatuan hikmah. Hidup memang harus dipandang sebagai harapan ketika setiap momentum dimaknai sebagai awal untuk mengubah suatu keadaan. Dan pada hakikatnya selalu ada dan dibutuhkan terapi-terapi untuk menuju ke arah perubahan. Mengapa penting melihat persentuhannya dengan bulan suci? Ya, sekecil apa pun, dinamika-dinamika aktual kenegaraan yang berlangsung patut disikapi dan dijaga untuk tetap dalam trek perubahan.
Contoh menyikapi kesederhanaan fasilitas dinas selaku pejabat negara yang dilakukan Hidayat Nurwahid, sebenarnya bukan langkah yang fenomenal. Tetapi menjadi terasa sangat bermakna karena kultur dan konsepsi kehidupan kita sendirilah yang selama ini telah memosisikan sesuatu yang biasa dan ''seharusnya'' menjadi ''tidak biasa''. Hal yang bagi Nurwahid bukan luar biasa, akhirnya kita lihat sebagai ''besar'', namun tetap harus diakui menjadi dekonstruktif karena terdapat nilai ketekadan untuk berani keluar dari kungkungan yang telanjur dianggap biasa. Yakni sebagai pimpinan dan memiliki peluang untuk bermewah-mewah dan mendapat layanan fasilitas lebih, padahal sebenarnya bisa untuk menekan peluang-peluang itu dengan berbagai pertimbangan.
Menariknya, ''efek Nurwahid'' ini mulai terasa menjelang sidang paripurna pengambilan sumpah presiden - wakil presiden terpilih. Sejumlah anggota MPR, yang dipelopori PKB dan PAN, menyatakan menolak fasilitas penginapan hotel mewah, setelah Hidayat Nurwahid memilih tidur di ruang kantor. Sebelum itu, para pimpinan MPR juga menyikapi langkah yang sama dengan menolak mobil dinas Volvo dan fasilitas royale suite room hotel. Sidang paripurna juga diperpendek waktunya dari dua hari menjadi hanya sehari. Kembali kita menegaskan gerakan moral ini memang baru awal, selanjutnya tergantung pada keistikamahan sikap para wakil rakyat. Yang penting bukan semata-mata karena kehadiran seorang Nurwahid, melainkan diarahkan agar mampu menciptakan internalisasi moral.
Bisa jadi muncul penilaian terlalu normatif menghubungkan gerakan moral ini dengan momentum Ramadan. Tetapi seperti yang ditulis oleh Prof Dr Abu Su'ud kemarin, itu bukan sesuatu yang dikarang-karang, karena secara faktual terjadi berbagai peristiwa penting di Tanah Air. Kemerdekaan diproklamasikan pada bulan Ramadan 1945, dan kini kita mengayuh harapan baru pada bulan yang sama. Disadari, tidak mungkin sejumlah momentum sekarang ini akan cepat membawa perubahan. Hanya, harapan rakyat janganlah dipadamkan ketika momentum-momentum penting itu bergerak dengan dinamika yang menjanjikan. Gerakan moral itu merupakan bentuk keberpihakan kepada rakyat dengan sikap-sikap simpati, dan empati, yang selalu mengedepankan compassion.
Hal yang paling sulit dalam menjaga keutuhan perilaku moral adalah istikamah. Kita percaya terhadap integritas Nurwahid, yang diperkirakan bakal bergerak terus dengan konsep penyederhanaannya. Persoalannya, bagaimana dia melangkah dengan ide-ide keteladanan itu di tengah sikap terhadap fasilitas yang selama ini telanjur menjadi penyakit struktural? Di sini kita  melihat fakta menarik. Setelah dekonstruksi ''Volvoisme''-nya, Nurwahid kembali memberi contoh dengan memilih tinggal di ruang kerjanya daripada di hotel mewah. Dia tidak hanya mengajak dengan  pernyataan, tetapi benar-benar memberi contoh dalam melaksanakan kesederhanaan. Kita berharap ini bisa membuat rikuh anggota MPR yang lain, setidak-tidaknya dengan tidak mengumbar kemewahan fasilitas.
Dalam ukuran minimalis, contoh yang diberikan oleh Ketua MPR itu diharapkan diikuti para anggota dengan pertama-tama memanfaatkan fasilitas secara wajar, patut, dan tidak mencari-cari bentuk layanan lain. Momentum ini juga sepantasnya ditangkap oleh pemerintahan baru sebagai awal untuk memulai ''hidup baru''. Para pejabat di berbagai level perlu merenungkan kembali bahwa mereka bisa bekerja dengan kesederhanaan tampilan, fasilitas dinas, dan layanan yang tidak mengada-ada. Merunut persoalan ini ke belakang, contoh dan keteladanan mesti dimulai dari para pemegang kekuasaan yang memiliki peluang untuk dilayani. Kalau sekadar semangat berbicara tetapi berbeda dalam perilaku, mestinya mereka malu ketika menengok ajakan dan pembuktian Hidayat Nurwahid.
(SUARA MERDEKA, Kamis, 21 Oktober 2004)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar