Editorial
atau tajuk rencana adalah tulisan dalam surat kabar atau majalah yang
berisi permasalahan aktual. Tulisan tersebut ditulis berdasarkan sudut
pandang redaksi surat kabar atau majalah tersebut.
Di dalam tajuk rencana terdapat fakta dan opini. Fakta dalam tajuk rencana adalah hal-hal faktual yang diambil dari peristiwa atau gejala tertentu di masyarakat. Adapun opini adalah argumen atau tanggapan redaksi terhadap peristiwa atau gejala yang dijadikan pokok pembicaraan dalam tajuk rencana.
Contoh tajuk rencana
Berharap ''Efek Nurwahid'' Terus Bergulir
Kalau
kita memandangnya sebagai sebuah harapan, maka momentum puasa Ramadan
1425 Hijriah, keterpilihan Hidayat Nurwahid sebagai Ketua Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan pengambilan sumpah/ janji
presiden-wakil presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-M Jusuf
Kalla, seperti terangkai dalam satu kesatuan hikmah. Hidup memang harus dipandang sebagai harapan ketika setiap momentum dimaknai sebagai awal untuk mengubah suatu keadaan.
Dan pada hakikatnya selalu ada dan dibutuhkan terapi-terapi untuk
menuju ke arah perubahan. Mengapa penting melihat persentuhannya dengan
bulan suci? Ya, sekecil apa pun, dinamika-dinamika aktual kenegaraan
yang berlangsung patut disikapi dan dijaga untuk tetap dalam trek
perubahan.
Contoh
menyikapi kesederhanaan fasilitas dinas selaku pejabat negara yang
dilakukan Hidayat Nurwahid, sebenarnya bukan langkah yang fenomenal.
Tetapi menjadi terasa sangat bermakna karena kultur dan konsepsi
kehidupan kita sendirilah yang selama ini telah memosisikan sesuatu
yang biasa dan ''seharusnya'' menjadi ''tidak biasa''. Hal yang bagi
Nurwahid bukan luar biasa, akhirnya kita lihat sebagai ''besar'', namun
tetap harus diakui menjadi dekonstruktif karena terdapat nilai
ketekadan untuk berani keluar dari kungkungan yang telanjur dianggap
biasa. Yakni sebagai pimpinan dan memiliki peluang untuk bermewah-mewah
dan mendapat layanan fasilitas lebih, padahal sebenarnya bisa untuk
menekan peluang-peluang itu dengan berbagai pertimbangan.
Menariknya,
''efek Nurwahid'' ini mulai terasa menjelang sidang paripurna
pengambilan sumpah presiden - wakil presiden terpilih. Sejumlah anggota
MPR, yang dipelopori PKB dan PAN, menyatakan menolak fasilitas
penginapan hotel mewah, setelah Hidayat Nurwahid memilih tidur di ruang
kantor. Sebelum itu, para pimpinan MPR juga menyikapi langkah yang sama
dengan menolak mobil dinas Volvo dan fasilitas royale suite room hotel.
Sidang paripurna juga diperpendek waktunya dari dua hari menjadi hanya
sehari. Kembali kita menegaskan gerakan moral ini memang baru awal,
selanjutnya tergantung pada keistikamahan sikap para wakil rakyat. Yang
penting bukan semata-mata karena kehadiran seorang Nurwahid, melainkan
diarahkan agar mampu menciptakan internalisasi moral.
Bisa
jadi muncul penilaian terlalu normatif menghubungkan gerakan moral ini
dengan momentum Ramadan. Tetapi seperti yang ditulis oleh Prof Dr Abu
Su'ud kemarin, itu bukan sesuatu yang dikarang-karang, karena secara
faktual terjadi berbagai peristiwa penting di Tanah Air. Kemerdekaan diproklamasikan pada bulan Ramadan 1945, dan kini kita mengayuh harapan baru pada bulan yang sama.
Disadari, tidak mungkin sejumlah momentum sekarang ini akan cepat
membawa perubahan. Hanya, harapan rakyat janganlah dipadamkan ketika
momentum-momentum penting itu bergerak dengan dinamika yang
menjanjikan. Gerakan moral itu merupakan bentuk keberpihakan kepada
rakyat dengan sikap-sikap simpati, dan empati, yang selalu
mengedepankan compassion.
Hal
yang paling sulit dalam menjaga keutuhan perilaku moral adalah
istikamah. Kita percaya terhadap integritas Nurwahid, yang diperkirakan
bakal bergerak terus dengan konsep penyederhanaannya. Persoalannya,
bagaimana dia melangkah dengan ide-ide keteladanan itu di tengah sikap
terhadap fasilitas yang selama ini telanjur menjadi penyakit
struktural? Di sini kita melihat fakta menarik. Setelah dekonstruksi
''Volvoisme''-nya, Nurwahid kembali memberi contoh dengan memilih
tinggal di ruang kerjanya daripada di hotel mewah. Dia tidak hanya
mengajak dengan pernyataan, tetapi benar-benar memberi contoh dalam
melaksanakan kesederhanaan. Kita berharap ini bisa membuat rikuh
anggota MPR yang lain, setidak-tidaknya dengan tidak mengumbar
kemewahan fasilitas.
Dalam
ukuran minimalis, contoh yang diberikan oleh Ketua MPR itu diharapkan
diikuti para anggota dengan pertama-tama memanfaatkan fasilitas secara
wajar, patut, dan tidak mencari-cari bentuk layanan lain. Momentum ini
juga sepantasnya ditangkap oleh pemerintahan baru sebagai awal untuk
memulai ''hidup baru''. Para pejabat di berbagai level perlu
merenungkan kembali bahwa mereka bisa bekerja dengan kesederhanaan
tampilan, fasilitas dinas, dan layanan yang tidak mengada-ada. Merunut
persoalan ini ke belakang, contoh dan keteladanan mesti dimulai dari
para pemegang kekuasaan yang memiliki peluang untuk dilayani. Kalau
sekadar semangat berbicara tetapi berbeda dalam perilaku, mestinya
mereka malu ketika menengok ajakan dan pembuktian Hidayat Nurwahid.
(SUARA MERDEKA, Kamis, 21 Oktober 2004)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar